Demi
menyelamatkan buah hatinya, seorang ibu tanpa lelah memompa selang
oksigen untuk pernapasan bayinya secara manual.
|
Arafah dipompa oksigen oleh ibunya di RSCM Jakarta, 3/2/2012. |
Seorang
ibu mencuri perhatianku. Senyumnya, desah sayangnya, dekapan hangatnya. Bahkan sampai hari ini suara lembutnya masih terngiang di
telingaku. “Cup
cup
anak ganteng, nanti cepat sembuh ya,” katanya berulang kali.
“Adegan” ini sering kusaksikan di kamar 111 Ruang Perawatan Anak
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Hampir
sepanjang akhir Desember 2011 hingga awal Februari 2011 ibu ini setia
menemani dan menghibur bayinya yang sedang dirawat di ruangan itu.
Suaranya terdengar tegar, tapi selalu terpecah oleh suara tangis
bayinya sepanjang hari.
Maklum,
sang anak berusia 1,5 tahun, tapi mengalami down
syndrome, leukemia,
plus
kelebihan slam
di
tenggorokannya. Slam
ini
harus rutin disedot keluar untuk memperlancar jalan napasnya. Salah
satu terapi yang harus dijalani yaitu merelakan kedua lengannya
ditusuk jarum infus dan transfusi.
Tapi
dasar kanak-kanak, tangannya tak henti bergerak, membuat aliran
cairan infus ke dalam tubuhnya terganggu. Maka perawat menyatukan
telapak tangannya dan mengikatnya di atas selembar papan kecil.
Tindakan ini berhasil menghambat mobilitas tangannya, tapi bagi si
kecil justru membatasi geraknya sehingga menangis tanpa kenal
siang-malam.
Bayi
ini bernama Figur Arafah. Belum pernah kudengar suaranya selain suara
tangis. Juga jari-jemarinya selalu mengucek-ucek mata dan mulutnya,
dengan kedua bola mata bergerak kian-kemari tanpa fokus. Hari
berganti hari, aku sering menengoknya. Tapi hampir tak ada perbaikan,
malah kondisinya semakin menurun.
Hingga
malam itu, Kamis, 2 Februari 2012, Arafah dibawa ke ruang rontgen
guna memastikan apakah selang oksigen yang dimasukkan lewat mulutnya
tidak terlalu jauh masuk ke dalam. Ini karena mulai malam itu
peralatan oksigen Arafah diganti dengan yang manual. Artinya,
peralatan pompa oksigen itu baru berfungsi jika ada tangan manusia
yang menggerakkan. Itu berarti pula napas Arafah sangat bergantung
pada tangan manusia tersebut.
Siapa
lagi manusia itu kalau bukan ayah dan ibunya? Bisa dibayangkan,
betapa lelahnya badan dan mental kedua orang tua Arafah. Bahkan aku
pun hanya sanggup bertanya-tanya dalam hati, “Memompa setiap detik
selama 24 jam? Sampai kapan kuat?”
Semestinya
bayi ini dipindah ke ruang Intensive Care Unit (ICU) Anak. Sayangnya,
jumlah ventilator di ICU Anak RSCM yang hanya tersedia enam unit
sudah terpakai semua sehingga Arafah tidak kebagian. Mengomentari
masalah ini, Direktur
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius
Widjajarta menjelaskan kepada SH,
dalam keadaan seperti itu pasien bisa dipindahkan ke rumah sakit
lain.
Memang
siapapun pasiennya, termasuk yang memakai fasilitas pemerintah berupa
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) seperti Arafah, tidak boleh
ditelantarkan. “Tetapi RSCM itu seperti puskesmas raksasa karena
semua pasien 'dilempar' ke sana. Maka saya tidak menyalahkan RSCM,
karena alat ventilatornya pasti jadi amat sangat terbatas,”
katanya.
Marius
menguraikan, napas dengan ventilator atau mesin memang lebih teratur,
tetapi itu pun bisa kebablasan, apalagi jika memakai peralatan
manual. “Meski kita tidak mendahului kehendak Tuhan, tapi memang
kenyataannya RSCM itu terlalu banyak pasiennya,” lanjutnya.
Menghadapi
kenyataan ini, ibunda Arafah,
Sumarmiati,
hanya bisa pasrah.
Dia dengan sabar dan setia terus-menerus memompa oksigen untuk
Arafah. Setiap detik, sepanjang waktu tanpa henti. Malah untuk
sekadar mandi hanya sempat satu kali pada pagi hari. Makan pun
seadanya, karena dia harus cepat-cepat kembali memompa.
“Gimana
lagi, namanya juga anak. Saya ikhlas,” kata Sumarmiati lancar,
tanpa
kutanya sebelumnya. Mungkin dia membaca roman mukaku yang tak jelas
antara terenyuh dan terperangah. Wanita ini memang hebat. Dia berbeda
dengan orang tua pasien lainnya yang ada di kamar 111. Ketika itu di
antara para orang tua pasien ada yang berkesempatan jalan-jalan ke
luar RSCM sambil jajan aneka makanan. Ada juga yang meninggalkan
begitu saja anak balitanya sehingga menjerit-jerit sendirian.
Sementara
Sumarmiati berbeda. Dengan tekun dan penuh kasih dia menemani anak
bungsunya itu. Itu ia lakukan hampir tiap hari, karena suaminya,
Gunadi, yang bekerja sebagai operator mesin di sebuah perusahaan
percetakan di Pulo Gadung, masih harus mengurusi dua anaknya yang
masih sekolah di rumah mereka di Tambun, Bekasi.
Syukur
dan Kasih
Suatu
malam sekitar pukul 22.30, Senin (6/2), Sumarmiati dibangunkan
seorang perawat. Ternyata denyut jantung Arafah tak ada lagi. Saat
aku datang menengoknya, masih tersisa lebam di kelopak mata
Sumarmiati. Tapi dia tampak tegar. Suaminya pun mengaguminya. “Dia
ini ibu yang hebat! Hampir dua bulan dia tak pulang ke rumah hanya
untuk nungguin
Arafah,”
katanya.
Sejatinya,
kedua orang ini luar biasa, bapak dan ibunda Arafah. Mereka tiada
henti mengucapkan rasa syukur karena diberi kemudahan untuk anak
mereka. Misalnya, dalam keadaan perekonomian yang minim, mereka masih
bisa membawa anaknya ke RSCM dengan fasilitas Jamkesda Bekasi.
“Kami
melihat kebesaran Allah. Karena dengan kasus ini, saya bisa memberi
informasi kepada anak-cucu tentang bagaimana agar mereka tidak
mengalami nasib seperti ini,” tutur Gunadi. Begitu pun Sumarmiati.
Dia berkata, “Saya puas sudah mendampingi anak, berjuang untuk
anak”. Air mata mereka hampir kering. Tapi kekuatan kasih mereka
tetap tak terbagi.(Wahyu
Dramastuti)