Minggu, 13 Mei 2012

Oksigen Terakhir Si Buah Hati


Demi menyelamatkan buah hatinya, seorang ibu tanpa lelah memompa selang oksigen untuk pernapasan bayinya secara manual.


Arafah dipompa oksigen oleh ibunya di RSCM Jakarta, 3/2/2012.


Seorang ibu mencuri perhatianku. Senyumnya, desah sayangnya,  dekapan  hangatnya. Bahkan sampai hari ini suara lembutnya masih terngiang di telingaku. “Cup cup anak ganteng, nanti cepat sembuh ya,” katanya berulang kali. “Adegan” ini sering kusaksikan di kamar 111 Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Hampir sepanjang akhir Desember 2011 hingga awal Februari 2011 ibu ini setia menemani dan menghibur bayinya yang sedang dirawat di ruangan itu. Suaranya terdengar tegar, tapi selalu terpecah oleh suara tangis bayinya sepanjang hari.

Maklum, sang anak berusia 1,5 tahun, tapi mengalami down syndrome, leukemia, plus kelebihan slam di tenggorokannya. Slam ini harus rutin disedot keluar untuk memperlancar jalan napasnya. Salah satu terapi yang harus dijalani yaitu merelakan kedua lengannya ditusuk jarum infus dan transfusi.

Tapi dasar kanak-kanak, tangannya tak henti bergerak, membuat aliran cairan infus ke dalam tubuhnya terganggu. Maka perawat menyatukan telapak tangannya dan mengikatnya di atas selembar papan kecil. Tindakan ini berhasil menghambat mobilitas tangannya, tapi bagi si kecil justru membatasi geraknya sehingga menangis tanpa kenal siang-malam.

Bayi ini bernama Figur Arafah. Belum pernah kudengar suaranya selain suara tangis. Juga jari-jemarinya selalu mengucek-ucek mata dan mulutnya, dengan kedua bola mata bergerak kian-kemari tanpa fokus. Hari berganti hari, aku sering menengoknya. Tapi hampir tak ada perbaikan, malah kondisinya semakin menurun.

Hingga malam itu, Kamis, 2 Februari 2012, Arafah dibawa ke ruang rontgen guna memastikan apakah selang oksigen yang dimasukkan lewat mulutnya tidak terlalu jauh masuk ke dalam. Ini karena mulai malam itu peralatan oksigen Arafah diganti dengan yang manual. Artinya, peralatan pompa oksigen itu baru berfungsi jika ada tangan manusia yang menggerakkan. Itu berarti pula napas Arafah sangat bergantung pada tangan manusia tersebut.

Siapa lagi manusia itu kalau bukan ayah dan ibunya? Bisa dibayangkan, betapa lelahnya badan dan mental kedua orang tua Arafah. Bahkan aku pun hanya sanggup bertanya-tanya dalam hati, “Memompa setiap detik selama 24 jam? Sampai kapan kuat?”

Semestinya bayi ini dipindah ke ruang Intensive Care Unit (ICU) Anak. Sayangnya, jumlah ventilator di ICU Anak RSCM yang hanya tersedia enam unit sudah terpakai semua sehingga Arafah tidak kebagian. Mengomentari masalah ini, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta menjelaskan kepada SH, dalam keadaan seperti itu pasien bisa dipindahkan ke rumah sakit lain.

Memang siapapun pasiennya, termasuk yang memakai fasilitas pemerintah berupa Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) seperti Arafah, tidak boleh ditelantarkan. “Tetapi RSCM itu seperti puskesmas raksasa karena semua pasien 'dilempar' ke sana. Maka saya tidak menyalahkan RSCM, karena alat ventilatornya pasti jadi amat sangat terbatas,” katanya.

Marius menguraikan, napas dengan ventilator atau mesin memang lebih teratur, tetapi itu pun bisa kebablasan, apalagi jika memakai peralatan manual. “Meski kita tidak mendahului kehendak Tuhan, tapi memang kenyataannya RSCM itu terlalu banyak pasiennya,” lanjutnya.

Menghadapi kenyataan ini, ibunda Arafah, Sumarmiati, hanya bisa pasrah. Dia dengan sabar dan setia terus-menerus memompa oksigen untuk Arafah. Setiap detik, sepanjang waktu tanpa henti. Malah untuk sekadar mandi hanya sempat satu kali pada pagi hari. Makan pun seadanya, karena dia harus cepat-cepat kembali memompa.

Gimana lagi, namanya juga anak. Saya ikhlas,” kata Sumarmiati lancar, tanpa kutanya sebelumnya. Mungkin dia membaca roman mukaku yang tak jelas antara terenyuh dan terperangah. Wanita ini memang hebat. Dia berbeda dengan orang tua pasien lainnya yang ada di kamar 111. Ketika itu di antara para orang tua pasien ada yang berkesempatan jalan-jalan ke luar RSCM sambil jajan aneka makanan. Ada juga yang meninggalkan begitu saja anak balitanya sehingga menjerit-jerit sendirian.

Sementara Sumarmiati berbeda. Dengan tekun dan penuh kasih dia menemani anak bungsunya itu. Itu ia lakukan hampir tiap hari, karena suaminya, Gunadi, yang bekerja sebagai operator mesin di sebuah perusahaan percetakan di Pulo Gadung, masih harus mengurusi dua anaknya yang masih sekolah di rumah mereka di Tambun, Bekasi.

Syukur dan Kasih
Suatu malam sekitar pukul 22.30, Senin (6/2), Sumarmiati dibangunkan seorang perawat. Ternyata denyut jantung Arafah tak ada lagi. Saat aku datang menengoknya, masih tersisa lebam di kelopak mata Sumarmiati. Tapi dia tampak tegar. Suaminya pun mengaguminya. “Dia ini ibu yang hebat! Hampir dua bulan dia tak pulang ke rumah hanya untuk nungguin Arafah,” katanya.

Sejatinya, kedua orang ini luar biasa, bapak dan ibunda Arafah. Mereka tiada henti mengucapkan rasa syukur karena diberi kemudahan untuk anak mereka. Misalnya, dalam keadaan perekonomian yang minim, mereka masih bisa membawa anaknya ke RSCM dengan fasilitas Jamkesda Bekasi.

Kami melihat kebesaran Allah. Karena dengan kasus ini, saya bisa memberi informasi kepada anak-cucu tentang bagaimana agar mereka tidak mengalami nasib seperti ini,” tutur Gunadi. Begitu pun Sumarmiati. Dia berkata, “Saya puas sudah mendampingi anak, berjuang untuk anak”. Air mata mereka hampir kering. Tapi kekuatan kasih mereka tetap tak terbagi.(Wahyu Dramastuti)

Sumber: Harian Sore Sinar Harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar